Hampir semua orang tahu Ki Hajar Dewantara. Nama asli beliau adalah RM. Soewardi Soerjaningrat. Beliau adalah Bapak Pendidikan Indonesia, yang tanggal lahirnya ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Yup, tanggal 2 Mei.
Siapa yang ingat semboyan terkenal Ki Hajar Dewantara? Tentu semua pendidik tahu, walau mungkin hanya sebatas Tut Wuri Handayani. Jelas saja, Tut Wuri Handayani menjadi semboyan Kementerian Pendidikan, dan ada di semua seragam sekolah yang dipakai peserta didik di Indonesia.
Namun siapa yang betul-betul meresapi dan memaknai semboyan tersebut, serta menerapkannya dalam pendidikan sehari-hari? 😊
Yuk, sekarang kita ingat kembali, apa yang kita ketahui dari Ki Hajar Dewantara. Kita ingat lagi kata-kata yang pernah diucapkannya dan tercatat dalam sejarah.
Infografis di atas cukup menggambarkan, pokok-pokok penting yang sebetulnya disuarakan Ki Hajar Dewantara untuk menjadi dasar Pendidikan Indonesia. Namun, sebagian besar mungkin dilupakan dalam pendidikan sehari-hari 😊.
Lantas, dengan kondisi pendidikan saat ini yang penuh dengan pemenuhan beban akademis, dengan PJJ selama pandemi, mungkinkah kita kembali pada hakikat pendidikan Indonesia yang disuarakan Ki Hajar Dewantara? Mungkinkah pokok-pokok pikiran beliau masih relevan dengan kondisi terkini? "Mungkinkah mengadopsi pandangan Ki Hajar Dewantara dalam pembelajaran aktif dan kontekstual di rumah maupun di sekolah?"
Mungkin saja, kenapa tidak?
Hakikat pendidikan yang disuarakan beliau sejatinya tidak pernah kadaluwarsa. Karena hakikat tersebut dibangun dari pengalaman beliau dan pengalaman Indonesia sebagai sebuah bangsa. Pokok-pokok pikiran beliau justru semakin relevan saat ini.
Di tengah pandemi Covid-19, kita justru disadarkan bahwa kesenjangan dalam pendidikan di Indonesia masih ada, masih banyak. Beban akademis yang diberikan pada anak terkadang menafikan kebutuhan mereka untuk bermain. Penyeragaman terhadap hal tidak penting, seperti cara mewarnai, justru seringkali ditemukan.
Lalu, bagaimana kita dapat mengadopsi pandangan Ki Hajar dalam pembelajaran aktif dan kontekstual? Bagaimana caranya?
Semboyan terkenal Ki Hajar Dewantara, "Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani" dapat kita terapkan dalam meng-alur-kan setiap pembelajaran.
Ing ngarsa sung tulada (di depan memberi contoh) : pada awal pembelajaran, ada baiknya guru memberi contoh berkaitan dengan materi pembelajaran yang dibahas. Namun contoh tersebut, bukan contoh yang ada di buku 😊, seperti kita ketahui, contoh di buku terkadang tidak sesuai dengan konteks peserta didik. Contoh yang baik dan mengena adalah contoh yang memang diambil dari keseharian anak tersebut, konteks di mana dia tinggal dan beraktifitas.
Ing madya mangun karsa (di tengah memberi semangat) : pada fase ini, guru sebaiknya mendampingi anak/peserta didik, sehingga anak merasa didukung, mendapat semangat. Terutama di masa pandemi...anak/peserta didik berasa sekolah beneran 😊. Caranya tentu saja beragam, dapat berupa video call atau telpon pada anak, chatting, atau menjadwalkan hari-hari tatap muka online/offline, hadir sebagai avatar dalam keseharian, dan sebagainya. Sehingga anak bisa bertanya, bicara atau sekedar melepas kangen, pada guru dan teman-temannya.
Tut wuri handayani (di belakang memberikan dorongan) : pada fase ini, guru/pendidik dapat memberikan tantangan pada anak/peserta didik dengan penugasan yang kontekstual sesuai dengan pembelajaran. Jika pembelajarannya tentang bencana, ada baiknya peserta didik diminta menganalisa bencana dan melaporkannya. Tugas berbasis project, dengan beberapa pilihan project, jauh lebih menyenangkan bagi anak daripada mengerjakan buku latihan di buku cetak. Namun tentu saja, jika berbasis project, berilah jangka waktu yang masuk akal 😊. Hal ini dimaksudkan agar anak tertantang, menjadi kreatif dan mengasah keterampilan mereka.
Untuk lebih jelasnya silahkan lihat contoh di PowerPoint berikut, ada gamenya juga lho (PersamaanLSV.pptx). Tapi mohon maaf kalau tidak ada suaranya, soalnya hardware di Rumah JJ sedang bermasalah 😊.
Selanjutnya diharapkan, guru dan anak/peserta didik bisa benar-benar berperan sesuai harapan Ki Hajar Dewantara, yaitu :
Guru sebagai Pamong : momong (merawat), among (memberi contoh), ngemong (mengawasi, mengamati, membimbing).
Peserta didik/siswa/anak sebagai TriNa (3 Na) : niteni, nirokake, nambahi. Niteni adalah Bahasa Jawa yang bearasal dari kata dasar ‘titen’. ‘titen’ berarti kemampuan untuk secara cermat mengenali dan menangkap makna dari suatu obyek. Nirokake dan Nambahi adalah kata Bahasa Jawa yang berarti meniru dan mengembangkan. Hal ini dimaknai sebagai usaha menirukan apa yang dipahami dan menerapkannya pada konteks peserta didik,kemudian menambahkan ataupun melakukan penyesuaian menurut pemikiran peserta didik sendiri.
Akhirnya, mari kita sama-sama berusaha memberikan yang terbaik yang kita punya demi kualitas pendidikan yang lebih baik dan masa depan kita sendiri. Karena para siswa/anak/peserta didik hari ini = 100% masa depan Indonesia.
Comentarios