top of page
  • Writer's pictureJJ

PJJ - sebuah refleksi

Sudah 7-8 bulan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) di Indonesia berjalan. Seperti diketahui bersama, PJJ dilakukan demi melindungi anak-anak dari pandemi Covid-19, menjamin kesehatan mereka dengan tetap memperhatikan hak pendidikannya.


Sejak PJJ mulai diperlakukan (pertengahan Maret 2020) sampai hari ini, beragam komentar, pro, kontra, saran, kritik, dan keluhan muncul di ruang-ruang publik. Namun hal terbaik dari itu semua adalah terlihatnya potret sebenarnya dari kondisi pendidikan di Indonesia. Ada kesenjangan akses, kualitas dan kebijakan dalam hal pendidikan yang cukup jauh antara Jawa dan Luar Jawa, antara Barat dan Timur. Bahkan antar jenjang pendidikan sendiri. Ada banyak lubang dalam pendidikan di Indonesia.


Menyikapi itu semua, Pemerintah dalam hal ini Kemdikbud, saya anggap sudah mencoba melakukan apa yang mereka mampu di level mereka, yaitu Kebijakan. Mereka mencoba menambal akses dan kualitas dengan kebijakan, antara lain: bantuan kuota belajar, pelatihan teknologi dan informatika bagi tenaga pendidik, penyederhanaan kurikulum, dsb.


Siswa pun berusaha, di level mereka, dengan mencari kuota internet gratisan untuk menunjang belajar. Berusaha tetap bertahan di rumah, walau susah karena pastinya sering ribut sama Orang Tua.


Orang Tua, terutama perempuan, juga berusaha dengan segenap tenaga membagi tugas antara pekerjaannya, tugas rumah tangga, dan tugas mendidik anak. Mereka berusaha tetap waras secara mental dan fisik.


Guru pun, dengan segala keterbatasannya berusaha tetap menjadi Guru. Walau terkadang ... jadi berlebihan (dengan memberikan penugasan yang sebanyak-banyaknya) atau jadi sangat santai (dengan tidak mengajar sama sekali, dan hanya memberi tugas sekedarnya). Sangat jarang (paling tidak, yang saya temui) Guru yang ada di titik tengah.


Baiklah... dari semua komponen pendidikan yang saya sebutkan di atas, Guru, bagi saya adalah ujung tombaknya. Ibarat menombak ikan dalam air. Si tangan adalah pembuat kebijakan, yang menentukan arah. Guru adalah tombak. Ikan adalah siswa. Orang Tua adalah air. Bayangkan, tangan sudah mengarahkan tombak, air sudah tenang, ikan sudah menari di sekitar ... tapi tombak tidak tajam, tombak tidak cukup kuat.


So...apa yang terjadi dengan tombak? Setelah sekian lama PJJ, apakah Guru sudah cukup tajam menjadi ujung tombak pendidikan? Jawabannya bisa berbeda. Tergantung si Guru. Tapi marilah ini menjadi refleksi bagi diri kita, bagi setiap Guru yang memilih menjadi Guru.

157 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page