Sekolah Tanpa Tanya: Krisis Rasa Ingin Tahu di Ruang Kelas
- SH
- Aug 17
- 3 min read
Dalam ruang-ruang kelas di Indonesia, keheningan sering kali bukan cerminan dari konsentrasi, melainkan dari budaya pendidikan yang menekan rasa ingin tahu. Murid duduk rapi, mencatat, dan mengangguk, tetapi jarang mengangkat tangan untuk bertanya. Guru pun lebih sibuk menyampaikan materi daripada memancing dialog. Padahal, kemampuan bertanya merupakan inti dari proses berpikir kritis dan pembelajaran yang bermakna.
Bertanya di kelas masih dianggap sebagai tindakan yang mengganggu, sok tahu, atau bahkan menantang otoritas. Studi oleh Newman (1994) menunjukkan bahwa murid yang enggan bertanya cenderung memiliki motivasi rendah dan kurang percaya diri. Lingkungan kelas yang tidak mendukung interaksi terbuka memperkuat kecenderungan ini, menjadikan murid pasif dan hanya menjadi penerima informasi.
Masalah ini tidak hanya terletak pada murid. Guru pun sering kali belum optimal dalam mendorong murid untuk bertanya. Studi nasional oleh Universitas Negeri Jakarta (2023) menunjukkan bahwa banyak guru masih terjebak dalam paradigma lama yang berpusat pada guru. Akibatnya, murid tidak diberi ruang untuk mengembangkan rasa ingin tahu dan kemampuan berpikir mandiri. Pelatihan guru yang dilakukan di berbagai sekolah menengah menunjukkan bahwa ketika guru diberdayakan untuk memahami pentingnya perilaku bertanya, terjadi peningkatan signifikan dalam partisipasi murid dan kualitas interaksi di kelas.
Namun, bukan hanya frekuensi bertanya yang penting, melainkan juga jenis pertanyaan yang diajukan guru. Banyak guru cenderung menggunakan pertanyaan faktual, tertutup, dan tidak produktif—misalnya pertanyaan yang hanya menuntut jawaban “ya” atau “tidak”, atau sekadar menguji hafalan. Jenis pertanyaan seperti ini tidak mendorong murid untuk berpikir lebih dalam atau mengembangkan pertanyaan balik. Sebaliknya, pertanyaan terbuka, reflektif, dan eksploratif, atau menurut Program PINTAR Tanoto Foundation (2018-2023) pertanyaan yang produktif imajinatif ,dan terbuka (PIT) , jauh lebih efektif dalam menstimulasi kemampuan bertanya dan berpikir kritis murid. Ketika guru hanya berfokus pada jawaban benar, bukan proses berpikir, murid kehilangan kesempatan untuk belajar bertanya secara bermakna.
Secara internasional, Chin dan Osborne (2008) menekankan bahwa bertanya bukan sekadar aktivitas verbal, melainkan refleksi dari proses berpikir yang mendalam. Mereka menyebut keterampilan bertanya sebagai bagian dari kompetensi abad ke-21 yang mencakup berpikir kritis, pemecahan masalah, dan literasi sains. Ketika guru tidak mendorong murid untuk bertanya, mereka kehilangan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan yang sangat dibutuhkan di era informasi saat ini.
Kemampuan bertanya bukanlah keterampilan sepele. Murid yang terbiasa bertanya akan lebih mampu berpikir kritis, memperdalam pemahaman konsep, dan membangun kepercayaan diri dalam berpendapat. Bertanya juga mendorong eksplorasi, meningkatkan keterampilan komunikasi, dan menjadikan proses belajar lebih aktif serta bermakna. Sayangnya, banyak murid tidak pernah benar-benar belajar bagaimana bertanya dengan baik—karena tidak pernah diberi ruang untuk itu.
Di sinilah peran guru menjadi sangat penting. Guru perlu menciptakan suasana kelas yang aman dan inklusif, di mana setiap pertanyaan dihargai. Memberi contoh bertanya yang baik, menggunakan metode pembelajaran berbasis dialog, dan menyediakan waktu khusus untuk sesi tanya jawab adalah beberapa strategi yang dapat diterapkan. Ketika guru memodelkan rasa ingin tahu dan menghargai pertanyaan murid, mereka sedang menanamkan benih intelektual yang akan tumbuh sepanjang hayat.
Namun tanggung jawab membangun keterampilan bertanya tidak hanya berada di tangan murid atau guru semata. Sekolah, dinas pendidikan, lembaga pelatihan, dan organisasi masyarakat sipil juga memiliki peran penting dalam menciptakan ekosistem pembelajaran yang mendorong rasa ingin tahu. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) telah menetapkan pendekatan pembelajaran mendalam sebagai strategi utama dalam meningkatkan kualitas belajar mengajar. Dalam kebijakan terbaru melalui Permendikdasmen Nomor 13 Tahun 2025, pembelajaran mendalam ditekankan sebagai cara untuk mendorong murid memahami konsep secara utuh, menghubungkan antar gagasan, dan menerapkannya dalam berbagai konteks.
Kemampuan bertanya bukanlah bakat bawaan, melainkan keterampilan yang harus diasah dan didukung. Ketika sekolah gagal menciptakan ruang aman untuk bertanya, kita kehilangan kesempatan emas untuk membentuk generasi yang kritis, kreatif, dan berdaya pikir. Sudah saatnya kita berhenti menganggap pertanyaan sebagai gangguan, dan mulai melihatnya sebagai tanda kehidupan intelektual yang sehat.
Daftar Pustaka
• Chin, C., & Osborne, J. (2008). Students’ questions: A potential resource for teaching and learning science. Studies in Science Education, 44(1), 1–39. https://doi.org/10.1080/03057260701828101
• Newman, R. S. (1994). Academic help-seeking: A strategy of self-regulated learning. In D. H. Schunk & B. J. Zimmerman (Eds.), Self-regulation of learning and performance: Issues and educational applications (pp. 283–301). Lawrence Erlbaum Associates.
• Rachmawati, R., & Suryani, E. (2023). Optimalisasi kemampuan bertanya siswa: Pemberdayaan guru SMA. Jendela Pendidikan dan Pembelajaran, Universitas Negeri Jakarta. Retrieved from https://journal.unj.ac.id/unj/index.php/jendela/article/download/37510/15815/
Comments